“Lagi mikirin apa?” Laki-laki jangkung
bersuara lembut itu mendekat. Sedikit debu yang menempel di lantai ditiupnya
pelan sebelum turut duduk di sana—beranda. Dirinya kini menghadap pada taman
bunga. Beberapa kuncup bunga asoka dengan berbagai warna mulai bermekaran.
Sementara bugenvil putih yang baru pertama kali berbunga sejak ditanam setahun
lalu, mulai berguguran.
Perempuan di sampingnya menoleh.
Seutas senyum tersungging di antara garis rahang tegasnya yang ayu. Sejurus
kemudian, dia kembali menatap taman tanpa sempat bicara barang sekata. Walau
begitu, sang pria tak kunjung menagih jawaban atas pertanyaannya. Sepasang mata
beriris hitam itu tenggelam sejenak dalam netra jernih milik sang puan, lantas
turut menatap taman. Dia ikut menelusur, meresapi, menyoroti sesuatu. Sebuah
kotak yang tampaknya kerap disebut … kenangan.
Koridor kenangan yang ditelusurinya
begitu panjang. Dengan tertatih dan merintih perempuan itu merangkak
melaluinya. Kenangan pahit miliknya bukan sesuatu yang remeh, apalagi untuk disabung
dengan tangis manusia lain di panggung sandiwara ini. Adiratna, perempuan itu
punya ceritanya sendiri. Jatuh, cemas, tangis, tawa, amarah—segala emosi
agaknya pernah dia luapkan pada takdir, kepada Tuhan.
Suatu kali ketika impiannya gagal, Adiratna
termenung. Tatapannya terpaku pada monitor laptop. Tabel-tabel itu menunjukkan
bahwa namanya telah terlempar dari kuota peserta didik SMA idamannya. Nilainya
tak membawanya terjun bebas. Namun, perkara sistem zonasi dan kebijakan
merugikan lain, seperti kepemilikan KIP[1]
dan SKTM[2]
yang tak tepat sasaran adalah biangnya[3].
SNMPTN[4],
merah—gagal.
SBMPTN[5],
merah—gagal.
Ujian mandiri di beberapa kampus,
nihil.
“Apa jatah lukaku belum habis? Masih
berapa banyak lagi? Harus jatuh berapa kali lagi?” Wajahnya datar. Namun,
giginya beradu. Tangannya menggenggam kuat, menolak kehendak rasa untuk
meneteskan air mata.
“Kukira apa yang kualami adalah
sesuatu yang harus kubayar untuk hal-hal indah di masa depan, padahal aku sudah
susah payah untuk berusaha ikhlas. Bahkan jika kelak tak ada laki-laki yang mau
menerimaku, jika tak ada orang tua yang rela memberikan anak laki-lakinya untuk
mendampingiku yang penyakitan ini, barangkali mereka tak mau kerepotan, tak mau
punya risiko anak dan cucu yang ikut penyakitan seperti aku, apa pun itu tak
masalah! Kenapa masih begini? Kenapa masih saja usahaku selalu Engkau gagalkan,
Tuhan?” Pipinya kebas. “Kalau cobaan memang Engkau berikan pada yang mampu
melewatinya, maka kini kukatakan, aku sudah tidak mampu.”
Adiratna yang tengah berada di fase
akhir remajanya itu menyadari bahwa usahanya untuk menerima tak bisa seketika
menjadi tiket surga. Hidup yang selama ini telah dia jalani dengan sekuat diri
menata hati, seakan-akan belum memberinya umpan balik. Usianya belum matang
untuk memikirkan pendamping hidup, tetapi skenario pengganti harus sudah
disiapkannya. Menurut dara bergigi gingsul itu, setidaknya dia sudah punya
rencana untuk mengisi hari di saat teman-temannya sibuk menggelar pesta
pernikahan. Adiratna mengantisipasi, barangkali kisah cinta Adam dan Hawa yang
semanis gulali tak berkenan hadir di kehidupannya nanti.
Belasan tahun lalu, penyakit itu
resmi datang dalam kehidupannya. Pusing, lemas, tak kuasa berjalan, ruam yang
muncul kembali setelah disengat sang surya. Belum lagi kemoterapi berikut
dampaknya menjadi sebagian dari sekian konsekuensi nyata yang harus dihadapi
Adiratna sebagai penyandang lupus eritematosus sistemik[6].
Penyakit seribu wajah[7]
itu menyambangi hari-harinya sejak belia, di usia yang sewajarnya tak
didominasi perasaan selain bahagia.
“Lupus membuat penderitanya bisa
merasakan gejala yang berbeda-beda. Organ yang diserang pun belum tentu sama
dengan gejala awalnya. Dalam kasus Dek Adiratna, lupusnya menyerang tulang.
Efeknya, Dek Adiratna menjadi sulit atau mungkin tidak bisa berjalan selama
beberapa waktu saat lupusnya sedang kambuh. Organ lain, seperti ginjal, darah,
jantung, paru-paru, bahkan otak juga bisa menerima dampaknya di kondisi ini,”
jelas dokter yang bertanggung jawab atas pengobatan Adiratna, pada malam hari
usai gadis kecil itu menjalani serangkaian tes darah.
“Apakah bisa sembuh?” tanya seorang
sanak saudara kala menjenguk Adiratna.
Terdengar menyakitkan memang. Namun,
nyatanya itu pula yang menjadi tanda tanya di kepala sang Ibu, sesaat usai dokter
memberikan vonis atas penyakit yang diderita Adiratna beserta penjelasannya. Tak
ada satu pun kesengsaraan yang ingin dipelihara, bukan?
“Tidak ada obat yang dapat
menyembuhkan secara total, tapi tidak ada yang tidak mungkin. Terapi dan
pemeriksaan secara rutin perlu dilakukan, Bu. Terapinya dari obat oral atau
diminum. Nanti juga ada yang perlu dimasukkan lewat infus, Bu. Jadi, sesekali
nanti Ibu atau Bapak temani Adek mondok, ya,” urai dokter kala itu sembari
meloloskan senyumnya untuk berusaha menenangkan. “Ibu juga bisa percayakan ke
kami karena kami sudah terbiasa menangani kasus lupus. Pasien kami banyak, jadi
kami akan mengusahakan yang terbaik supaya kondisi Adek bisa terus stabil. Tentu,
Adek juga harus dijaga kesehatannya, Bu. Pola makannya perlu lebih
diperhatikan. Makanan yang dikonsumsi harus bergizi seimbang dan jangan main
panas-panasan. Kalau memang harus keluar waktu panas, Adek pakai sunblock atau
tabir surya itu ya, Bu. Jangan sampai stres juga karena namanya fisik atau
jasmani ini dan jiwa itu berkaitan. Kalau fisik terganggu, jiwa juga bisa
merasakan. Begitu juga sebaliknya.”
Ah, menyakitkan. Gadis kecil itu
seakan-akan terpenjara. Anak-anak yang terbiasa berteman dalam gerombolan, keluar
rumah dari pagi hingga petang, melewatkan berbagai cuaca bersama—hujan dan
panas. Sementara Adiratna …, dia mendapat pantangan atas hal paling normal
dalam dunianya kala itu.
“Ratnaaa! Main, yuk!” seru anak-anak
di beranda.
Tali panjang yang terbentuk dari
kaitan karet gelang sudah berada di tangan salah satu dari mereka. Sementara
sisanya ada yang membawa boneka, alat masak mainan, dan ada pula yang membawa
bola sepak. Fleksibel sekali. Mungkin mereka nantinya akan berganti jenis
permainan atau bertukar mainan begitu merasa bosan.
Wanita berusia tiga puluh tahunan segera
membuka pintu, lantas berkata, “Wah! Makasih udah ngajakin Ratna main, tapi
maaf Ratna belum bisa ikut. Ratna-nya masih bobok, masih capek habis dari rumah
sakit,” terangnya lembut.
Anak-anak itu dengan manisnya turut
iba dan memahami situasi dengan cepat. Mereka sangat peduli, memberi beragam
ucapan doa yang muaranya sama, mengharap kesembuhan Adiratna.
Namun, semua tak berjalan semulus
itu selamanya.
“Anak manja! Anak manjaaa!”
“Manja banget ga boleh
panas-panasan, hahahaha!”
Dunia tahu itu. Tentu tak sebanyak
Adiratna sebab hatinya pasti tergerus di setiap langkahnya yang berlari pulang.
Ejekan itu menjadi iringannya. Air mata mengalir di pipinya yang memerah
tersengat matahari. Pipi yang tembam karena efek samping obat. Lutut yang
akhirnya tak kuat menyangga setelah berlari. Lari yang juga tak berkecepatan
tinggi sebab dia tak mampu. Adiratna yang dalam kondisi seperti itu menjadi makin
marah pada rambutnya yang rontok akibat kemoterapi.
Wanita itu memeluknya dengan erat. Dunia
pun paham bahwa dia tak bisa berkata banyak. Dia takut tak kuasa menahan tangis.
Sejak Adiratna masih dalam kandungan, aku tahu bagaimana wanita ini begitu
mengharapkan kesehatan anaknya. Sama sekali dia tak menginginkan semua ini. Meskipun
begitu, dia jelas tahu bahwa tak ada hak baginya untuk menyalahkan takdir, apalagi
mengutuk Tuhan.
“Adiratna sayang, anak perempuan Ibu
yang cantik.” Wanita itu mulai bicara seraya mengelus kepala putrinya. Telapak
tangannya yang hangat lembut membelai. Dengan tatapan teduhnya, dia
melanjutkan, “Percaya sama Ibu, Ratna pasti kuat. Ratna pasti bisa jadi orang
hebat.”
Setelahnya, raungan Adiratna makin
keras. Tubuh mungilnya jatuh dalam rengkuhan sang Ibu. Sementara wanita yang
melahirkannya itu tak berhenti mengusap punggung Adiratna. Dia meluruhkan air
matanya dalam diam, masih berusaha kuat demi sang putri.
Dari balik pintu yang tak tertutup
sempurna, di bawah lampu yang berhias jelaga, disaksikan seluruh dinding yang
telah berganti cat hingga tiga kali, wanita itu mencuri pandang. Sosoknya masih
sama. Harapan, doa, serta usaha tak pernah berhenti dia kerahkan. Selain
Adiratna sendiri, jelas wanita itulah yang paling mengharapkan hal yang terbaik
untuk Adiratna. Seseorang yang akan memberi senyum dan tatapan paling hangat
kala melihat putri tunggalnya duduk berdampingan dengan seseorang yang mampu
membahagiakan putrinya.
“Aku tetap ingin punya taman rindang
dengan pohon angsana itu walau aku enggak perlu menghindar dari matahari,” ucap
Adiratna setelah cukup lama memandang taman, tanpa sepatah kata.
“Aku tahu,” jawab laki-laki di
sampingnya.
“Makasih.”
Laki-laki itu menoleh.
“Terima kasih karena sudah
menerimaku. Terima kasih sudah memperjuangkan aku, meyakinkanku, walau aku
terus berlari menjauh. Terima kasih karena sudah ikut berlari untuk menggenggam
tanganku,” sambung Adiratna, membuat senyum laki-laki itu mengembang.
“Aku terima ucapan manis itu dengan
sepenuh hati.” Senyumnya menjadi makin legit. “Aku pun berterima kasih karena
wanita hebat sepertimu sudah berani dan mampu bertahan hingga akhirnya kamu
menemukanku. Aku juga sangat berterima kasih pada Ibu, sudah memberikan kepercayaannya
padaku untuk mendampingi putrinya yang menakjubkan ini,” tuturnya.
Seraya menoleh dan menatap dalam
sepasang mata yang menunduk itu, dia berkata, “Aku mencintaimu, Ara-ku.”
Adiratna tertawa pelan.
“Kenapa kamu memanggilku Ara?”
tanyanya seraya membalas tatapan penuh cinta itu.
“Karena itu panggilan sayang.”
“Kenapa harus beda?”
“Karena aku ingin menyayangimu
dengan spesial. Sayang dengan tingkat dan level yang berbeda.”
“Kenapa?”
“Karena aku bersyukur bisa
bersamamu, Ara.”
Adiratna melepaskan kontak matanya.
Dia kembali melepaskan pandang ke tengah taman.
Di
kotak itu aku berteriak dalam senyap
Ibu
menyerahkan darah dan jiwa,
tapi
sesekali bahkan itu tak mengusir nestapa.
Di
dalamnya aku merangkak
Kugadaikan
segala yang mungkin baik-baik saja jika tak kumiliki
Kutawarkan
harga yang kukira selaras
Aku
penipu,
dan
aku korbannya.
Tuhan
tidak butuh impian yang kugadaikan
Dia
tak menggubris somasi yang aku jeritkan
dan
terus membuatku melangkah,
pada
sebuah arus dengan hilir bernama kejujuran
karena
Tuhan lebih tahu, bahwa aku mampu.
Seraya menahan tangis, Adiratna
menjawab, “Aku juga bersyukur. Aku amat bersyukur, Tuhan tidak murka atas
rutukanku. Aku sungguh bersyukur, Tuhan membantuku bertahan dan mempertemukanku
dengan laki-laki seindah dirimu, Mas Angga.”
TAMAT
[1] (singkatan) Kartu Indonesia Pintar
[2] (singkatan) Surat Keterangan Tidak Mampu
[3]Mulai sekitar tahun 2017, calon peserta didik yang memiliki KIP dan SKTM ditempatkan di peringkat pertama meskipun nilai mereka berada jauh di bawah calon peserta didik lainnya yang tidak memiliki KIP dan SKTM
[4] (singkatan) Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri
[5]
(singkatan) Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri
[6] Secara internasional disebut SLE (Systemic Lupus Erythematosus). SLE merupakan salah satu penyakit autoimun di mana sel kekebalan tubuh menyerang sel atau jaringan tubuh yang sehat karena salah mengenalinya sebagai benda asing. Di Indonesia, rata-rata lebih dari 150 ribu kasus lupus terjadi setiap tahun. Penyintasnya biasa disebut Odapus (Orang dengan Lupus).
[7]
Disebut penyakit seribu wajah karena gejalanya sangat mirip dengan gejala
penyakit lain sehingga sulit dideteksi.
Posting Komentar
Hai, warga Saung Karsa! Terima kasih sudah berkunjung dan membaca tulisan ini. Silakan tinggalkan komentar dalam bentuk apa pun sambil tetap menjaga etika sesuai norma umum yang berlaku.