Aku berulang kali menyesali
pertemuan yang berakhir benci. Bukan hanya satu dua kali, tapi telah berulang
kali dalam hidupku. Mungkin aku yang tidak peka membaca hati dan situasi
sehingga perkenalan singkat berlanjut pertemuan intens menjadi bumerang dalam
kisah hidupku.
Namaku Senja. Aku anak pertama dari
tiga bersaudara. Kami perempuan semua. Aku kerap menghayalkan memiliki kakak
laki-laki yang bisa kuusili lalu dia mengejarku, seorang kakak laki-laki yang
akan melindungiku, kakak laki-laki yang akan memarahiku karena pulang larut
malam, dan banyak khayalan betapa senangnya jika aku punya kakak laki-laki.
Dengan alasan-alasan itu aku selalu welcome
kepada setiap teman laki-laki yang mau berteman akrab denganku. Akhirnya,
singkat cerita karena kepribadianku yang supel, mudah bergaul, dan berterima di
lingkungan, aku dengan mudah akrab dengan siapa pun. Tak terkecuali teman
laki-laki.
Aku ingat betul pernah berkenalan dengan
seseorang dari kampus lain. Perkenalan dimulai ketika tak sengaja tas ranselku
tertukar dengan ranselnya. Saat itu, kami sama-sama mengunjungi perpustaakan
kota. Ketika pulang, aku meraih ransel yang salah di loker. Karena warna dan
mereknya sama, aku tidak ngeh kalau ternyata aku salah membawa ransel. Setibanya
di kosan, handphone-ku berdering. Muncul nomor tak dikenal yang mengaku
pemilik ransel yang aku bawa. Akhirnya, kubuka ransel yang sejak pulang dari
perpustakaan hanya kuletakkan di meja. Memang benar isi dalam ransel itu bukan
milikku. Seketika wajahku pucat malu lalu kuhubungi kembali nomor tadi untuk
membuat janji. Sempat terpikir dari mana pria itu tahu nomorku. Ternyata, di
dalam ranselku ada buku diari. Di halaman awal kutulis tebal nama beserta nomor
handphone-ku. Mungkin pria itu mendapatkan nomorku dari sana. Batinku
menebak.
Begitulah awal pertemuan kami.
Setelah bertukar ransel, kami lalu intens komunikasi. Selain karena memiliki
hobi yang sama, yaitu membaca, kami juga sama-sama suka makan. Akhirnya,
berlanjutlah perkenalan kami menjadi hubungan yang tidak jelas. Komunikasi
makin intens dan pertemuan makin tak terkendali. Aku dan dia sama-sama
menikmati hubungan tanpa status ini. Sepertinya sebelum bertemu denganku ia memiliki
seorang kekasih. Aku mengetahui dari gesture tubuhnya dan nada bicaranya
ketika berbicara di telepon dengan seseorang. Akan tetapi, aku tak pernah
menanyakan statusnya. Apa pentingnya bagiku, pikirku saat itu. Toh, aku juga
tak punya rasa lebih kepadanya, selain rasa nyaman dan aman bila bersamanya.
Namun, semakin lama kami akrab, Dia
tidak pernah lagi mendapat panggilan telepon dari kekasihnya. Aku hendak
bertanya, tapi aku merasa tidak enak hati. Bukan kapasitasku untuk menanyakan
hal pribadi seperti itu.
Hubunganku dengan dia, aku kenang
dalam sebuah puisi yang diam-diam kutulis di buku diariku.
Bukan Cinta Hanya Tumbal Ego
Entah harus disebut apa perasaan ini
Bila bahagia mendengar suaranya
Merasa aman di dekatnya
Nyaman bercerita dengannya
Tapi tak berniat memilikinya
Tak jarang batin berdialog sendiri
Menebak sendiri perasaanya padaku
Aku dan dia sudah terlalu jauh
Hingga terjebak hubungan tak jelas
Sering aku hendak bertanya padanya
Tapi aku takut,
Takut dia menjauhiku
Aku takut hampa tanpanya
Jika suatu saat dirinya pergi
Pergilah, aku takkan melarang
Sudah cukup dia menjadi tumbal egoku
Biarlah aku kembali sendiri menepi dalam sepi.
Tak terasa dua tahun sudah pertemanan kami. Aku benar-benar menikmati hubungan ini. Ini sesuai harapanku. Aku menemukan sosok pribadi seorang kakak dalam dirinya. Ia selalu memarahiku jika tahu aku pulang larut malam karena event yang diselenggarakan organisasi, menjaga dan memastikan keamananku kala kami berjalan di trotoar, mengingatkan aku sholat, makan, dan sebagainya. Layaknya hal yang dilakukan seorang kakak laki-laki kepada adik perempuannya.
Dia sekarang tengah sibuk menyusun
skripsinya. Tak jarang ia memintaku untuk menemaninya mencari referensi ke
perpustakaan atau ke toko buku. Dia memang dua tahun lebih tua dari
usiaku. Sampai suatu ketika, ia mengajakku makan malam di sebuah kafe.
Aku tak menyangka, ternyata malam itu adalah momen terakhir kami saling bicara.
Sama sekali tak ada dalam pikiranku malam itu dia mengungkapkan perasaannya.
Dia mengaku kalau selama ini dia memendam rasa kepadaku, tapi menunggu momen
yang tepat untuk mengungkapkannya.
Bagai disambar petir, aku tak
percaya pengakuan cinta itu keluar dari mulutnya. Batinku berkecamuk. Ada
sedikit rasa jengkel dalam hati, mungkin ini yang disebut pengkhianat
persahabatan. Ego menguasai hatiku. Aku marah padanya dan mengatakan kalau
selama ini aku menganggapnya tidak lebih dari seorang kakak. Aku melihat urat
kekecewaan di wajahnya. Akhirnya, tragedi malam itu menjadi titik awal hubungan
kami berjarak.
Setelah kejadian malam itu, aku dan
dia tidak pernah lagi bertemu dan bertegur sapa, meski sekadar melalui pesan
singkat. Sampai akhirnya dia lulus kuliah dan kembali ke kotanya, kami tak
pernah berkomunikasi lagi.
Sebulan setelah dia pergi, aku
kembali akrab dengan seseorang. Namanya Fajar, teman sekelasku. Dia sering
melihatku sendiri lalu berinisiatif mengajakku berteman. Aku hampir tak punya
teman cewek. Bukan karena aku jahat, aku hanya malas berteman akrab dengan
perempuan dengan alasan kompleks. Teman perempuan lebih gampang baperan, ngambekan,
sakit hati, dan penuh drama. Sementara teman laki-laki cenderung lebih logis
dan tak gampang baperan. Kian hari, aku dan Fajar makin akrab. Dia kerap kali
mengusiliku di kelas, menyembunyikan tasku, dan membuatku selalu tertawa. Satu
hal yang aku harapkan, hubungan pertemanan ini bisa langgeng. Belajar dari
pengalaman sebelumnya, aku kemudian mewanti-wanti Fajar bahwa aku berteman
dengannya tidak untuk mencari kekasih melainkan mencari sahabat. Kukatakan pula
kepadanya bahwa aku benci kalau persahabatan dikhianati hanya karena perasaan
sepihak. Fajar menyanggupi permintaanku untuk menjadi sahabat selamanya.
Singkat cerita, aku dan Fajar begitu
lengket. Di mana ada aku, di situ pasti ada Fajar. Di mana Fajar nongkrong, di
situ ada aku. Teman-teman menganalogikan kami seperti "manusia dan
kebudayaan", tidak bisa dipisahkan. Tak jarang jika weekend atau
libur kuliah, aku mengajak Fajar berkunjung ke desaku. Begitu pun Fajar, aku
selalu berkunjung ke desanya. Kepada orang tua dan keluarga, kami
memperkenalkan diri sebagai sahabat.
Suatu ketika, ibu Fajar sakit dan
dirawat di rumah sakit. Saat itu aku tidak bisa mendampingi Fajar menjaga
ibunya di rumah sakit karena sedang mengikuti sebuah ajang kompetisi di Jakarta
sebagai perwakilan kampus. Fajar tidak mempersoalkan itu karena ia sangat
mengerti posisiku. Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak, ibu Fajar
meninggal setelah tiga hari di rumah sakit. Aku minta maaf karena tidak bisa
pulang menghadiri pemakaman ibunya. Sekali lagi, Fajar masih memaklumi
keadaanku.
Setelah seminggu di Jakarta, aku
akhirnya kembali, tentunya dijemput oleh Fajar di bandara. Dari kejauhan, kulihat
dia menungguku. Aku lalu berlari ke arahnya dan memeluknya erat seraya
mengucapkan belasungkawa atas kepergian ibunya. Dari bandara, aku tidak
langsung pulang ke indekos. Aku meminta Fajar membawaku ke desanya. Aku hendak
mengunjungi pusara ibunya. Dengan senang hati, ia langsung mengiakan. Siang itu,
berangkatlah kami dengan sepeda motor Fajar.
Tiga jam lamanya kami berkendara
sebelum akhirnya tiba di rumah Fajar. Aku hanya menyimpan koper di rumah Fajar
lalu langsung ke pusara ibunya. Saat itu, aku dan Fajar hanyut dalam tangisan.
Kami berdua sama-sama merasa kehilangan sosok ibu. Memang selama ini ibu Fajar
sudah aku anggap ibu. Layaknya anak sendiri, beliau kerap kali mengirimkan
sayur dan camilan dari desa untukku.
“Senja, pulang, yuk! Sudah hampir
petang.”
Ajakan Fajar menghentikan
tangisanku.
“O ya, Senja, ada yang harus aku
katakan.” Fajar kemudian melanjutkan omongannya ketika aku baru saja akan
beranjak dari dudukku.
Ia kemudian mengulurkan sebuah kotak
kecil berbentuk persegi berwarna merah lalu berlutut dengan satu kaki di
depanku.
“Senja, maukah kau menjadi istriku
dan mendampingiku sampai tua nanti? Aku tak bisa memendam terlalu lama perasaan
ini. Aku mencintaimu, Senja.”
Gubrak! Adegan apa ini? Dia
meminangku di atas pusara ibunya yang masih basah? Batinku memekik.
“Ini juga permintaan terakhir Ibu,
Senja.”
Aku masih belum bisa mencerna
kata-kata Fajar. Aku terdiam membisu seribu bahasa. Aku belum sepenuhnya sadar,
masih larut dalam sedih.
“Tidak usah jawab sekarang. Aku akan
menunggu jawaban kapan pun kamu siap. Mari kita pulang dulu,” lanjut Fajar
tanpa menunggu jawabanku.
Kami pun kembali ke rumah. Aku
berjalan mengekor di belakangnya seperti anak ayam kehilangam induk. Antara
bingung, sedih, dan kecewa melebur jadi satu.
Malam telah sepertiga kuhabiskan di rumah
Fajar. Aku terbangun memikirkan kembali ucapan Fajar. Otakku berusaha mencerna
kata-katanya. Semoga saja interpretasiku tidak salah. Masa iya dia melamarku,
padahal kami berdua sudah sepakat untuk menjadi sahabat selamanya. Kenapa pula
ia membawa nama-nama ibunya? Pikiranku terus menerka. Kalau benar Fajar
melamarku, aku tak bisa terus melanjutkan hubungan ini. Sahut batinku yang
lain. Memikirkan ucapan Fajar ditambah lelahnya perjalanan kembali
mengantarkanku ke dalam kantuk yang lebih dalam. Kemudian aku kembali terjatuh
dalam tidur.
Paginya, aku pamit kepada ayah dan
saudara Fajar sebelum kembali ke kota. Tentunya diantar Fajar. Di perjalanan,
kami tak bercerita apa-apa. Hanya diam dan saling menebak isi hati
masing-masing setelah lamaran di tempat sakral kemarin sore. Singkat cerita, aku
sudah tiba di kosan. Fajar juga langsung kembali ke indekosnya untuk istirahat
sebentar lalu kembali ke kampungnya.
Setelah hari pinangan itu, aku dan
Fajar tidak pernah berkomunikasi. Ada rasa canggung di antara kami setelah ia
mengungkapkan isi hatinya. Dia juga izin tidak masuk kampus karena masih dalam
suasana berkabung.
Ini sudah hari ketujuh aku dan Fajar
tidak berkomunikasi. Pagi-pagi sekali, ia mengirimiku pesan singkat menanyakan
keadaanku dan permintaan maaf karena telah mengakui perasaannya dan merusak
komitmen kami. Tak butuh waktu lama, aku segera membalas pesan singkatnya
dengan terlebih dahulu meminta maaf karena tidak bisa memenuhi harapan terakhir
ibunya. Aku juga mengakui kalau aku sangat kecewa kepadanya, padahal sebelum
persahabatan kami sedekat ini, kami berdua sudah membuat komitmen tidak boleh
jatuh cinta pada sahabat sendiri. Aku juga menolak lamaran Fajar dengan alasan
yang kompleks. Mulai dari rasa ketidaknyamanan dan masih ingin sendiri. Fajar
menerima jawabanku. Komunikasi pagi itu berakhir dengan kesepakan agar kami
saling menjaga jarak dulu untuk saling menata hati.
Setelah penolakan itu, aku dan Fajar
tidak pernah lagi terlihat bersama di kampus. Memang kami sengaja membatasi
interaksi. Fajar juga tidak pernah lagi muncul di kelas. Aku mendengar dari
teman lain kalau ia pindah ke kelas lain. Sejahat ini pengkuan cinta merusak
hubungan persahabatanku dengan Fajar. Itulah mengapa aku tak pernah mau
menjalin cinta dengan sahabat, bahkan teman sekalipun.
Tak terasa kami sudah wisuda. Aku
kemudian menerima kontrak magang di Jakarta, sedangkan Fajar kudengar kalau ia
mendaftar menjadi relawan ke Palestina.
Lima tahun telah berlalu, kini aku sudah
menjadi ASN. Aku tak tahu, di usiaku sekarang yang menjelang 27 tahun belum juga
berniat untuk berkeluarga. Aku masih betah sendiri. Dengan sendiri, aku bisa
bertualang ke mana pun yang aku suka tanpa harus dibatasi oleh seseorang.
Di suatu senja, matahari sudah di
ujung peraduannya. Aku duduk sendiri menunggu kereta di stasiun. Saat itu hujan
rintik-rintik dan tidak banyak orang di stasiun. Mungkin karena ini hari libur,
gumamku.
Aku memandang ke sekeliling,
tiba-tiba mataku terpaut dengan mata seorang pria yang berdiri kira-kira 7
meter dari tempatku duduk. Aku merasa tidak asing dengan pria itu. Sepertinya
pria itu juga mengenaliku. Baru saja aku hendak berdiri menghampirinya,
tiba-tiba dua orang anak kecil yang kutebak usianya sekitar 4 tahun dan 2 tahun
berlari ke arahnya dan disusul oleh seorang wanita berpakaian tertutup. Hanya
matanya yang terlihat. Dua anak kecil tadi memanggil pria itu dengan sebutan
Abi.
Setelah memperhatikan beberapa saat,
aku baru sadar ternyata pria itu adalah Fajar. Aku mengurungkan niatku untuk
menghampirinya. Fajar juga sepertinya ingin menghampiriku, tetapi ia tidak enak
dengan istrinya. Hanya lirikannya yang kudapati sesekali melihat ke arahku.
Akhirnya keretaku datang, aku segera
naik ke gerbong, sedangkan Fajar masih berdiri menunggu kereta berikutnya
sambil menggendong salah satu anak kecil tadi. Kami memang tidak saling menyapa,
tapi arti tatapan mata kami masing-masing mengucapkan selamat jalan. AKU RINDU.
Begitulah pertemuan kembali kami.
Bagai orang asing yang tidak saling mengenal lagi. Namun, di relung hati yang
terdalam aku mengakui kalau aku merindukan Fajar sahabatku.
TAMAT
Tentang Penulis:
Diana,
lahir di Sinjai, 16 Agustus 1991. Diana menempuh S1 Pendidikan Bahasa Inggris
di Universitas Muhammadiyah Makassar sejak tahun 2008 dan lulus 4 tahun
berikutnya. Kemudian melanjutkan pendidikan profesi guru di Universitas Negeri
Makassar dan lulus tahun 2016. Dari tahun 2017, aktif mengajar di salah satu SMP
di Kabupaten Biak Numfor, Papua. Diana sangat menyukai menulis, terutama
artikel, memoar, puisi, dan cerita pendek.
Posting Komentar
Hai, warga Saung Karsa! Terima kasih sudah berkunjung dan membaca tulisan ini. Silakan tinggalkan komentar dalam bentuk apa pun sambil tetap menjaga etika sesuai norma umum yang berlaku.