Usiaku saat itu masih sebelas tahun. Aku hidup bersama keluarga kecil yang hangat. Bersama Papa, Mama, dan kakak laki-lakiku, Kak Agam. Kami semua tinggal di tengah perkotaan yang sibuk, tidak terlepas dari orang-orang di dalamnya yang banyak menghabiskan waktu memikirkan pekerjaan. Tidak terkecuali Papa. Dia adalah orang yang paling sibuk di keluarga ini. Sering sekali mengambil kerja lembur, tetapi jarang sekali cuti.
Namun, ia bukanlah seorang yang
egois terhadap keluarganya. Meskipun jarang sekali di rumah dan sering
menghabiskan waktunya bersama dengan perusahaan tempat ia bekerja, ia tetap
dengan senang hati mengajak keluarganya pergi liburan ketika sudah memasuki
hari libur ataupun cuti,
kembali
menghabiskan waktu dan berkumpul bersama keluarga kecil ini.
Kemudian Mama. Ia adalah wanita yang tangguh dan
kuat. Mama seperti tidak mengenal kata lelah dalam mengurusi rumah tangga
keluarga ini. Di satu sisi ia-adalah-orang-tersabar-yang-pernah aku kenal ketika
harus dihadapkan dengan tingkah lakuku dan Kak Agam. Namun, di sisi lain, ia bisa
menjadi seseorang yang tegas dalam mendidik anaknya karena Mama ingin
anak-anaknya menjadi orang yang disiplin pada setiap aspek kehidupan.
Sementara itu, Kak Agam, ia-lebih-tua-empat-tahun-dariku. Dia adalah kakak
yang baik. Pulang sekolah, ia sering mengajakku bermain. Namun, ia juga kakak yang
usil, ia sering meminjam barang-barangku tanpa izin hingga
membuatku menangis.
Hingga pada suatu hari, datanglah
sebuah kejadian yang menimpa keluarga ini. Sebuah kejadian yang memberatkan
hati ketika bayang-bayangnya kembali terlintas di dalam kepala.
Pukul 17.00
“Asalamualaikum, Papa pulang,” ucap
Papa sesaat setelah ia membuka pintu ruang tamu. Ia baru saja pulang dari
kantornya.
“Wa’alaikumsalam, Papa!” Mendengar suara
Papa, aku pun langsung berlari mendatanginya. Rasa bahagia ketika Papa pulang
adalah rasa yang tidak tertandingi.
“Pa, ayo, ke meja makan. Mama
sudah masak sop daging terenak sedunia.”
“Wah, kebetulan Papa lagi lapar.
Sebentar ya,
Sabila.
Papa mau taruh tas dulu.”
Ya, itulah namaku, Sabila. Aku
adalah anak bungsu dari keluarga ini. Bisa dibilang, aku hanyalah anak SD
ingusan yang cerewet dan manja di keluarga ini.
“Eh, Papa. Tumben pulang cepat,
Pa?” tanya
Mama ketika ia baru sadar Papa baru saja sampai di ruang makan, bersiap untuk
mengisi perutnya yang gemuk.
“Iya, hari ini semua kerjaan Papa
sengaja selesaikan cepat. Oh,
iya, si
Agam di mana
ya, Ma?” tanya
Papa.
“Tadi bilangnya main bola sama
anak-anak gang sebelah”
“Oh, ya sudah biarkan. Yang
penting sebelum waktu Magrib, dia sudah harus
kembali karena Papa mau ngobrol satu keluarga.”
Pukul 18.00
Udara dingin di malam yang sepi terhalang
oleh hangatnya suasana makan malam bersama keluarga. Kami semua duduk melingkar
mengelilingi meja makan sambil menyantap nikmatnya hidangan sop daging buatan
Mama. Aku duduk di samping Kak Agam dan Papa, sedangkan Mama duduk di
hadapanku. Kami semua saling bercengkerama
satu sama lain.
“Agam, Sabila, Papa mau ajak kalian ngobrol,” kata Papa kepada kami
berdua yang tengah sibuk mengunyah makanan.
“Ngobrolin apa, Pa?” tanya Kak Agam.
“Jadi gini, berhubung besok sudah
masuk hari libur, Papa mau ajak sekeluarga buat pergi liburan. Tadi Papa sudah
tanya pendapat Mama kira-kira mau pergi ke mana, tapi kata Mama
lebih baik tanya Agam dan Sabila saja. Nah, sekarang Papa mau tanya ke kalian
berdua. Kalian ingin pergi liburan ke mana besok?”
Akhir pekan selau menjadi hal
yang menyenangkan dalam hidupku. Mendengar kata liburan membuatku bersorak
dalam hati, tetapi sedetik kemudian, aku dan Kak Agam
termenung seketika, lalu
menatap
wajah satu sama lain. Mata kami terbelalak bingung, berpikir hendak ke mana esok.
“Gimana kalo kita ke pantai?”
Tiba-tiba Kak Agam menjawab dengan spontan.
“Ih, Bila enggak mau, Kak! Di
pantai itu panas. Kalo tambah gosong gimana? Bila maunya mendaki gunung aja, Pa,” tukasku penuh dengan
kontra.
“Gimana sih kamu, Bil? Kan ada yang namanya sunscreen
biar enggak
gosong. Lagian ya, ke pantai itu seru tau! Kamu bisa bikin istana pasir, lihat
ikan-ikan berenang di laut. Memangnya kamu enggak capek apa mendaki gunung?”
“Pokoknya Sabila enggak mau! Kalo
ternyata di pantai itu banyak sampahnya gimana? Mau main pun jadi males
gara-gara baunya enggak
enak.”
“Enggak, pokoknya harus ke pantai!”
Di tengah debat antara aku dan
Kak Agam, tiba-tiba Papa tertawa kencang melihat tingkah laku kami berdua
sehingga membuat perutnya sedikit berguncang.
“Hahaha. Kalian berdua ini memang
sangat mirip dengan kartun Tom-and-Jerry, ada saja hal
yang diributkan. Papa suruh kalian membahas hendak ke mana, kalian malah
debat.”
Kami berdua pun terdiam, tetapi
mataku masih menatap tajam penuh kekesalan kepada Kak Agam.
“Kalo Mama boleh usul, Mama ingin
liburan ke air terjun. Menurut Agam dan Bila bagaimana?” Mama tiba-tiba
memberikan sebuah saran.
“Hmm. Boleh, Ma.” Saran-dari-Mama-terdengar-tidak-terlalu buruk.
Berkunjung untuk melihat air terjun bukanlah sebuah kegiatan yang terlalu
melelahkan. Karena tidak ada kontra, akhirnya kami semua pun setuju untuk
mengikuti permintaan Mama.
“Ya sudah, besok kita pergi liburan ke air terjun.”
***
Pukul 08.00
Sinar-mentari menyinari mobil-kami yang berjalan di
atas aspal hitam. Entah kenapa hari itu aku merasa sangat gembira, melepas diri
dari hiruk pikuk
perkotaan dan kembali memeluk alam bersama keluarga. Atmosfer yang ditutup oleh
gedung tinggi kian berganti menjadi ranting dan juga dedaunan hijau. Udara
segar mulai menerobos masuk ke dalam paru-paru.
“Ngomong-ngomong soal air terjun,
dulu Mama pernah membuat puisi bertema air terjun. Kalian mau denger, enggak?” tanya Mama.
“Wah, boleh, tuh!” jawab Papa.
“Mau! Mau! Mau!” jawabku dan Kak Agam serempak.
Di tepian air terjun, kita
berpisah
Gemuruh aliran air menyaksikan
perih
Titisan air mengalirkan nostalgia
Cinta yang berakhir di tepi
sejuta rindu
Dalam goresan air yang menetes
Cerita kita terukir dalam butir
Seperti aliran yang tak terputus
Namun, perpisahan mengalir bagai
air
Aku tidak bisa lupa bagaimana
perasaanku ketika kedua telinga ini mendengarkan puisi indah buatan Mama. Aku
benar-benar terpukau.
“Indah banget, Ma! Dulu pasti Mama
sering membuat puisi, ya?”
tanyaku
kepada Mama.
“Waktu Mama seusia kamu, Mama
sering membuat-puisi.
Sehari tanpa membuat puisi rasanya ada yang kurang di dalam diri Mama. Ke mana pun Mama pergi ke
tempat yang indah, di situ
satu puisi tercipta.”
“Tapi puisi yang satu ini berbeda, Mama
menulisnya untuk mengenang bencana yang membuat sahabat Mama pergi untuk
selamanya waktu bermain air terjun dulu. Mama benar-benar terpukul saat itu.
Melihat teman Mama tertimpa bebatuan besar di depan mata benar-benar
menggoreskan luka di hati Mama. Menyembuhkan goresan luka itu perlu waktu yang
tidak sebentar, berbulan-bulan untuk goresan itu sepenuhnya sirna, benar-benar
menyakitkan. Namun,
Mama tidak bisa selalu hidup di bawah bayang-bayang masa lalu. Mama sangat
yakin di alam sana, sahabat Mama tidak ingin melihat saudara tak sedarahnya itu
terlalu banyak meratapi keadaan. Di saat itulah perlahan hati Mama mulai
membaik. Mungkin memang benar kata orang jika waktu dapat menyembuhkan luka.”
Tertegun mendengarnya, aku tidak
berkata apa-apa lagi. Ternyata di balik puisi indah itu terdapat kisah pilu di
dalamnya. Aku turut berduka dari dalam hati, tidak bisa membayangkan apa yang
Mama rasakan saat itu.
“Semuanya bersiap untuk turun.
Kita sudah sampai di air terjun paling indah di pulau ini,” ucap Papa setelah memarkirkan
mobil.
“Hore, sudah sampai!” Aku dan Kak Agam
langsung melompat turun dari mobil. Begitu turun, terpapar pemandangan yang
indah, langit tertutup oleh dedaunan pohon yang menjulang tinggi. Angin segar
berembus pelan memunculkan
suara ranting yang saling bergesekan satu sama lain pun menyapu halus rambut
lurusku. Bau
asap kendaraan tak lagi tercium di sini, hanya aroma kayu pohon yang
lembap karena terguyur air hujan.
Kami menuju ke loket yang ada di
dekat pintu masuk air terjun, membeli tiket untuk empat orang. Setelah membeli
tiket, kami berjalan di bawah
rindangnya hutan menuju area air terjun. Perjalanan melewati hutan yang melelahkan, akhirnya terbayarkan
oleh pemandangan tumpahan air dari atas tebing, membuat basah alam di sekitarnya. Sambil
dihiasi oleh suara air yang pecah karena jatuh di atas bebatuan sungai.
Ini indah sekali, aku berucap dari dalam
hati. Angin dingin yang berembus kencang menerpa wajahku, bahkan rambutku pun
turut terkibas. Di samping kanan, terlihat wajah Kak Agam yang turut terkesima
akan pesona alam di depannya,
sedangkan
di samping kiri, Papa dan Mama bergandengan tangan melihat bak air yang tumpah
sambil bercakap-cakap satu sama lain. Entah apa pembicaraan mereka.
“Bila, ayo, kita bermain air di
bawah sana!” ajak
Kak Agam.
“Ayo, Kak! Bila mau ke sana dulu ya, Pa,” ucapku sambil menunjuk
bawah air terjun.
“Iya, Nak. Hati-hati ya bermainnya. Jangan
sampai terpeleset
batu.”
Papa mengizinkanku dan Kak Agam bermain di bawah air terjun
Aku dan Kak Agam langsung berlari
ke bawah air terjun untuk menyiram tubuh di bawah tebing yang menjulang tinggi.
Air menerpa punggungku dari atas. Di bawah air terjun, terbentuk kolam dangkal,
aku dan Kak Agam bermain-main air di sana. Kami benar-benar bermain
dengan riang sambil menyiram satu sama lain.
Di tengah senangnya bermain-main
air, aku
melihat air mulai memunculkan riak. Air yang terjun melompat ke sana kemari. Bebatuan kecil
tiba-tiba berjatuhan. Tanah pun terasa bergetar.
Gempa bumi.
Tiba-tiba jantungku berdegup
kencang. Semua orang yang ada di sana berlarian ke sana kemari menjauhi area air
terjun. Area itu kini penuh dengan teriakan panik, tidak terkecuali aku dan Kak
Agam yang mencoba keluar dari situ.
“Gempa bumi, Sabila! Ayo, cepat keluar dari
sini!”
Kak Agam dengan sigap menggenggam tanganku dan mencoba menarikku dari area air
terjun. Namun,
nahas, tanah bergetar tak kalah hebatnya. Kak Agam kehilangan keseimbangan,
begitu juga dengan aku. Kami berdua terpeleset
bebatuan licin dan terjatuh di dalam air dangkal.
Dari atas, sebuah bongkahan batu berukuran
sedang terjatuh. Tepat menimpa kaki Kak Agam ketika ia baru saja terpeleset.
“AGHH! Kakiku!” jerit Kak Agam. Saat
itu aku hanya bisa menangis rintih melihat Kak Agam tertimpa bebatuan, sungguh
pemandangan yang mengerikan.
Di saat semua orang berlarian
menjauhi air terjun, hanya Papa dan Mama lah yang justru berlari mendekatinya,
mencoba untuk menyelamatkanku dan Kak Agam.
“Agam! Bila! Kami datang, Nak!”
Tanah tak henti-hentinya bergetar makin hebat. Saat itu, aku hanya bisa
berteriak dan
menangis sambil memejamkan
mata. Aku tidak berani melihat apa-apa. Aku benar-benar ketakutan.
Mataku masih tertutup. Aku hanya bisa mendengarkan suara
teriakan manusia dan juga marahnya Bumi. Aku merasa tubuhku terangkat,
bergerak, bergoyang hingga
tiba-tiba suara gemuruh tanah makin menjadi-jadi, menutup keramaian jeritan.
Tubuhku terempas. Aku masih menutup mataku sehingga aku tidak mengerti apa yang
baru saja terjadi.
Selang beberapa menit kemudian, gemuruh
tanah mereda. Situasi menjadi sedikit tenang, meskipun masih dilanda kepanikan.
Aku membuka kedua mataku, tubuhku tergeletak di atas batu besar. Aku mencoba
melihat keadaan sekitar. Situasi benar-benar kacau. Air terjun indah yang aku
lihat beberapa menit lalu,
kini telah tergantikan oleh gunungan tanah yang longsor. Kulihat lagi
sekeliling, mencoba mencari Papa, Mama, dan Kak Agam
“Papa …, Mama ….” Suaraku merintih
sambil mencari-cari kedua orang tuaku.
Para petugas bencana alam pun
tiba, mereka dengan sigap berlari ke area air terjun.
“Ada satu anak kecil!” Salah satu
dari mereka menemukanku, membawaku pergi. Dari sayup mataku, terlihat beberapa
petugas menggali gundukan tanah dan bebatuan yang menjulang tinggi. Mereka
melihat beberapa tangan manusia yang terkubur dan menarik seluruhnya keluar.
Aku mengenali tangan yang terkubur
itu, aku mengenali tubuh itu, dan aku juga mengenali wajah yang terpejam itu.
“PAPA! MAMA!”
***
Pukul 17.00
Sore itu, langit ditutupi awan
mendung yang sedang menangis deras di luar rumah. Begitu juga dengan aku, tak
henti-hentinya mata ini membasahi hingga sampai ke pipi. Aku hanya berdiam di
depan jendela rumah yang kini sepi, memandang gelapnya langit. Semenjak kepergian
kedua orang tuaku sebulan
yang lalu, nafsu makanku menurun drastis. Aku bahkan sering sehari tidak makan
sama sekali, tubuhku mulai kurus.
Kak Agam dengan tongkatnya mendatangiku dari
belakang. Ia kehilangan kaki kirinya.
“Bila, ayo, makan! Kakak sudah goreng
tempe buat makan malam.”
Aku tidak menjawab.
“Bila …, kalo nggak makan nanti tambah
kurus gimana?”
Aku masih tidak menjawab
“Hmph. Bila mau sampai kapan
bersedih terus? Bila mau sampai kapan menolak takdir yang sudah terjadi?
Kehidupan Bila masih panjang, masih banyak hal yang bisa dilakukan. Inget enggak Mama pernah
bilang 'kita tidak pernah bisa selalu hidup di bawah bayang-bayang masa lalu’. Masa
lalu tidak pernah selalu indah, Bila. Waktu pun juga akan terus mendorong kita
maju menghadapi semuanya. Makin
kita lawan, makin
sakit rasanya.
Lewat waktu, kita juga diajarkan bagaimana menghadapinya dengan kesabaran.”
Termenung mendengar ucapan Kak
Agam, benar semua yang ia ucapkan. Aku tidak bisa selalu bersedih seperti ini.
Meskipun terasa sangat menyakitkan, cepat atau lambat aku harus bisa merelakan
semuanya. Aku harus kembali bahagia.
Teruntuk Papa dan Mama, aku merindukan kalian. Sangat.
M. Fadhil Alghiffari atau lebih dikenal sebagai Cendhiil, ialah seorang remaja SMA yang memiliki hobi membuat suatu karangan cerita berbentuk prosa maupun narasi. Hobi ini dia temukan ketika ia baru memulai untuk membaca sebuah buku novel maupun karya cerita pendek di waktu senggangnya. Dari kegiatan membaca yang makin lama makin sering ia lakukan, imajinasi di dalam pikirannya makin meronta-ronta ingin keluar dari benaknya dalam bentuk tulisan. Hal inilah yang mendasari terbentuknya hobi Cendhiil dalam membuat sebuah karangan cerita berbentuk prosa.
Posting Komentar
Hai, warga Saung Karsa! Terima kasih sudah berkunjung dan membaca tulisan ini. Silakan tinggalkan komentar dalam bentuk apa pun sambil tetap menjaga etika sesuai norma umum yang berlaku.